Di Atas Menara Kutemukan Cinta
Langit kini berganti jubahnya. Melepas warna birunya menjadi merah. Senja mengalun manis setelah siang yang begitu merajam terik. Dengungan laju pacuan bumi masih terngiang ditelinga. Berkelana untuk mencari penghidupan. Mengais rezeki, berthalabul ‘ilmi, mengejar mimpi, pencarian jatidiri, mengejar cinta sejati dan aneka visi dan misi yang ingin diraih sesuai si empunya. Aku masih ingin menghamburkan mataku di area persawahan nan hijau. Melayangkan sejuta lamunan yang terngiang dibenakku. “Hey…kamu ngerti le apa arti hidup?” tanya seorang petani yang mengejutkanku. “Hidup adalah perjuangan, bapak siapa?” tanyaku penasaran. “Aku Rahman, teman disawah bapakmu. Adakah sosok wanita di hatimu le?” Pertanyaan yang menukik hatiku. Ingin rasanya ku jelajahi dunia ini dan akan kucari sosok siapakah itu. Sosok yang membuatku terpaksa untuk melamunkan angan, terbang dalam ilusi cinta. “Maaf pak, karena hal itulah yang membuatku untuk mencari tempat merenung dan bermuhasabah. Ku pikir di sawah inilah tempat yang pantas. Dan sungguh hal itu membuat hari-hariku resah.” Paparku. “Sudah kuduga le pasti karena cinta, katamu hidup itu perjuangan. Jadi ikhtiarlah dan tawakkal. Janji Allah itu pasti. Wa khalaqnaakum azwaajaa, (Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan). Kelak Allah akan membuktikan ayat tersebut padamu, jika tidak didunia, maka diakhirat kau akan menemuinya insyaallah. Kau anak yang baik, maka kau juga akan mendapatkan yang baik pula,” tuturnya penuh hikmat.
“Aminn, jazakallah khoiron pak”, Kataku sambil menatap matahari yang kian memerah. “Pak, aku ingin bercerita tentang suatu hal. Ada seorang………”, kalimatku terhenti saat aku menoleh ke samping ternyata bapak yang bersamaku sudah menghilang. Ohhh…kemana dia? Padahal ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya. Sesuatu yang menggelisahkan hatiku. Sesuatu yang menjadi pertanyaan besar bagiku. Mungkin bapak tadi sedang terburu-buru pulang karena haripun sudah mulai gelap. Dia harus bertemu keluarga yang menantinya dirumah.
***
Malam jum’at. Suara al barjanji bergema indah di masjid Baitul Iman. Alunan rebana oleh jama’ah ibu-ibu di desaku bagai simfoni islami yang khas untuk mengagungkan kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Jama’ah bapak-bapakpun tak mau ketinggalan, secara bergilir dari rumah ke rumah mereka bacakan surat Yasin yang besar fadhilahnya. Dan remajanya mengikuti ta’lim rutin dengan bab yang telah terjadwal. Fiqih, bahasa arab, tajwid, dan qur’an hadits. Ohhh…indah sekali suasana di desaku.
Hampir dua minggu aku berada dikampung halaman. Libur semester satu bulan cukup untuk mengobati sirpihan rindu yang mengerak dalam hatiku. Rindu pada sosok bijak ibuku, rindu pada sosok pahlawan ayahku, rindu pada sosok yang menggemaskan adikku Imtin, dan rindu pada sosok yang kini tak pernah kutemui lagi selama lima tahun ini. Entah kemana perginya gadis bersahaja itu. Jika aku mengingatnya sebongkah kesalahan telah ku lakukan padanya. Penyelasanpun selalu menghantui pikiranku.
Setelah sholat subuh di masjid kuluangkan waktu untuk jalan-jalan pagi, tepat melewati perempatan jalan ada sebuah rumah yang telah lama tak dihuni. Mataku selalu tertuju pada rumah berpagar hijau itu. Rumah yang dulu aku sering berkunjung untuk berjaga malam. Yaa…sebagai security. Karena masalah biaya sekolah yang kurang mencukupi aku mencari kerjaan sampingan. Pak Rudi telah memberi amanah untuk menjaga rumahnya kepadaku, termasuk anggota keluarganya. Bu Irma, si sulung Hasan, dan si bungsu Nafha. Mereka merupakan keluarga yang cukup berada di desaku. Sawah yang luas dan usaha penggilingan padi yang semakin maju membuat kehidupan mereka berkecukupan. Aku sangat dekat dengan keluarga Pak Rudi, termasuk kedekatanku dengan Nafha. Bisa diibaratkan kakak-adik. Sebelum berjaga rumahnya, tepat pukul tujuh malam aku selalu menjemputnya dari tempat les, tentunya atas amanah orang tuanya. Sebelum pulang biasanya aku dan Nafha menyempatkan diri sholat isya’ di masjid agung Baiturrahman Ngawi. Tak jarang pula kami habiskan waktu di perpustakaan masjid tersebut. Nafha sangat suka buku filsafat dan kitab hadits.
“ Kak Fajar, apakah aku salah jika mempunyai cita-cita sebanyak bintang dilangit?” Tanya Nafha dengan kepolosannya. “Tentu tidak salah, jika kamu mampu wujudkan semuanya. Tapi dengan catatan cita-citamu harus bermanfaat untuk orang lain. Khoirunnas anfa’u linnas.” Jawabku. “Iya, Nafha paham. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya. Kak, Nafha ingin jadi wonder woman.” Tuturnya. “Haa???? Wonder woman?” tanyaku keheranan sekaligus geli. “Wonder woman yang mencerdaskan bangsa, merubah yang bodoh menjadi pintar, miskin menjadi kaya, lemah menjadi kuat, iblis menjadi malaikat, ragu menjadi mantap, kuno menjadi modern, musuh menjadi sahabat dan benci menjadi cinta”, jawabnya seolah-olah ada sesuatu yang membara dalam dirinya. “Haa…haaa, Nafha kak Fajar bingung dengan cita-citamu. Dengan apa kau akan mewujudkan semua cita-citamu yang sungguh luar biasa hebatnya Fha…?” tanyaku geli dengan tuturnya yang polos. “Ihh, kak Fajar jahat. Bukannya bilang aminn tapi malah ketawa. Ada dua kuncinya kak. Menurut Nafha hanya dengan ilmu dan cinta, yang keduanya bermuara pada Allah SWT”, jawabnya tegas. “Iya aminn, semoga Allah mengijabah doamu. Kau cerdas dan kau sepertinya mempunyai semangat untuk berjihad di jalanNya. Allah pasti mengabulkan doamu. Barang siapa yang menolong agama Allah pasti Allah akan menolongnya juga”, tukasku.
Obrolan itu merupakan obrolan terakhirku dengan Nafha. Kala itu aku dan Nafha berada diatas menara masjid agung Baiturrahman. Dari situ bisa terlihat suasana malam di kota Ngawi. Siluet yang elegant dihiasi kerlip lampu-lampu yang menyala, serta romansa langit dengan keindahan bintang. Subhanallah…indah sekali. Tepat didepan masjid, alun-alun kota Ngawi selalu ramai dengan pedagang kaki limanya yang rapi berjajar menyajikan sajian khasnya masing-masing. Mulai dari aneka kuliner, permainan anak, dan aneka sandang terjual disana dengan harga yang relative terjangkau.
Malam itu menjadi malam terindahku bersamanya. Seolah-olah aku bisa melihat sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang membuatku kagum. Diusianya yang masih sangat muda 12 tahun, ia sudah mempunyai azam yang kuat untuk berjihad. Sedangkan aku yang kala itu sudah berumur 18 tahun belum mempunyai azam seperti itu. Azamku lebih banyak demi kesenangan dan kepuasan diriku dan keluarga saja. Malam itu Nafha telah memberikan satu pelajaran penting dalam hidupku.
Setelah menuruti ajakan Nafha untuk naik ke menara, kamipun segera pulang. Malam telah menunjukkan pukul delapan. Kuhidupkan motor yang terparkir di area halaman masjid yang cukup luas. Kamipun melaju menyusuri malam kota Ngawi yang khas. Begitu bersahajanya kota ini. Belum banyak gedung-gedung bertingkat di kota kecil ini. Namun, dari kota kecil inilah aku dilahirkan dan diajarkan tentang sebuah kesahajaan.
Lampu merah di perempatan kartonyono terlihat cukup ramai tak seperti biasanya. Kuhamburkan pandanganku ke seluruh sisi. Aku tercengang melihat rombongan sepeda motor yang menderu-deru layaknya motor balap dari arah utara. Sungguh membisingkan telinga. Kuenyahkan pandanganku ke lampu rambu-rambu. Hitungan sepuluh detik akupun langsung tancap gas ke arah barat yang semula dari arah timur diikuti pula kendaraan yang lain. Nafha yang berada dibelakangku diam tak berkata apapun. Sepertinya dia tertidur. Itulah kebiasaan buruknya jika dibonceng motor selalu tertidur. Aku masih dalam kemudiku dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba dari arah utara ada sebuah motor yang nyelonong sembarangan. Brakkkkk…tanpa diduga motor itu menabrak kami. Aku dan Nafha terseret ke badan jalan. Nafha terpental di trotoar, aku tersungkur dibawah tong sampah. Aku masih bisa merintih kesakitan. Jalananpun ramai, orang-orang sekitar mengerubungi kami. aku masih sanggup untuk berdiri. Kepalaku sakit, kakipun luar biasa nyeri. Tapi kupaksakan raga ini untuk melihat Nafha. Kutangkap Nafha tergeletak tak sadarkan diri dengan lumuran darah disekitar kepalanya. Terlihat begitu jelas. Setelah itu akupun tak sadarkan diri.
***
Kelopak mata ini terasa berat untuk digerakkan. Mataku masih terpejam. Samar-samar kudengar alunan kalamullah terlantun dengan syahdu. Alunan merdu dari sosok yang sangat ku kenal. Tergerak mata ini untuk bisa ku membukanya. Subhanallah…aku teringat tentang kecelakaan itu, ternyata Allah masih mengizinkanku untuk hidup. Kuhamburkan pandanganku disudut ruang bernuansa putih ini. Ayah sedang tertidur di kursi tepat disampingku. Ibu dengan khusyu’nya bertilawah dilantai dengan alas karpet plastik, dan Imtin tertidur di samping ibu. “I i iibu…”, dengan terbata-bata kupanggil ibu. “Alhamdulillah…La haula wa laa quwata illa billah, engkau sudah sadar le ”, ujar ibu sambil memelukku dengan erat.
Kecelakaan itu menyisakan beberapa luka ditubuhku. Patah tulang di bagian kakiku, tapi tak terlalu parah. Bekas memar di jidat, tangan, dan betis masih jelas terlihat. Aktifitasku dibantu dengan tongkat. Biaya rumah sakit ternyata ditanggung seluruhnya oleh keluarga Nafha. Aku sangat merasa bersalah atas kejadiaan ini. Sejak kejadian itu pula aku belum melihat dan mendengar kabar Nafha. Suatu pagi aku mendatangi rumah Nafha dan ternyata rumah tersebut telah kosong. Aku bertanya pada tetangga disampingnya, ternyata mereka telah pindah. Aku bertanya pada warga sekitar dan orang tuaku tapi merekapun tidak tahu kemana mereka pindah dan apa alasannya. Aku hanya ingin tahu kondisinya dan aku ingin meminta maaf pada keluarga Pak Rudi atas keteledoranku tak bisa menjaga Nafha dengan baik. Aku bingung, benar-benar bingung. Setelah kecelakaan itu Nafha langsung dibawa ke rumah sakit Solo dan aku dirawat di rumah sakit umum Ngawi. Keluarga Pak Rudi juga tak pernah menghubungi kami. Sungguh mereka bagai misteri dalam hidupku. Sebongkah penyesalan selalu menghantui pikiranku. Nafha bagaimana keadaanmu sekarang? Dimana engkau saat ini? Bagaimana dengan cita-citamu? Maafkan kak Fajar…semoga dimanapun engkau berada Allah selalu bersamamu, menyertaimu dalam mewujudkan azammu.
“Hey…Fajar isuk-isuk kok wis ngalamun? Piye kabare saiki?[1] Tiba-tiba Doni mengagetkanku. Bertemu dengan sahabat lama terasa menyenangkan. Doni adalah teman SMA ku dulu. Kini dia sukses menjadi juragan buah jeruk didesaku. Kamipun hanyut akan obrolan yang menyenangkan di pagi ini.
***
Matahari begitu semangat membiaskan sinarnya ke seluruh penjuru bumi. Terikpun terasa menukik di sela-sela badanku. Para petani seolah sudah tak merasakan terik ini, atau lebih tepatnya karena sudah terbiasa memakan terik. Aku dan ayah sedang mengamati padi yang telah ditandur[2] satu bulan yang lalu. Aku bertanya pada ayah cara bercocok tanam yang biasa dilakukan oleh ayah dan para petani lain. Semua kucatat dengan sistematis, detail, dan terperinci. Masalah yang sering terjadi di pertanian di daerahku adalah serangan tikus, hama dan terkadang kesulitan memperoleh air. Semua ini kulakukan untuk bahan skripsiku nanti. Semakin banyak melakukan observasi semakin kaya pula referensi.
Hari menunjukkan pukul empat sore. Aku dan ayah segera pulang kerumah. Mandi, sholat asar, dan makan bersama. Aku menuju kamar mengecek seluruh bawaanku. Hari ini aku akan kembali ke Bogor. Sisa liburan kuluangkan waktu untuk mencari referensi dan melakukan observasi di Bogor. Selain dekat dengan dosen pembimbing disana lebih luas tinjauan medianya. Semua telah siap. Tepat pukul 17.30 kereta pun tiba. Aku berpamitan pada ibu dan ayah. Rasa haru pun tak bisa dielakkan. Airmataku tiba-tiba turun membasahi pipi. “Ibu, ayah Fajar akan kembali dengan membawa sesuatu yang bisa ibu dan ayah banggakan. Imtin kau akan bangga memiliki kakak sepertiku. Ya Robb luruskanlah urusan hamba”, bisik dan doaku dalam hati yakin.
***
Hari kedua di asrama aku langsung menuju daerah Sukabumi bersama anggota Himasita (Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman) IPB selama empat hari. Dari Sukabumi kami langsung menuju Cileungsi untuk tinjauan berikutnya selama tiga hari. Setelah data-data dicatat, kemudian dibuat laporan dan disetorkan ke dosen pembimbing. Raga ini sungguh lelah. Kuputuskan selama sisa liburan ini kuhabiskan waktu di Cileungsi. Tiga hari lagi aku baru kembali ke asrama. Aku dan Joni sepakat denganku. Kami menginap di rumah kakak Joni yang kebetulan di daerah Cileungsi.
Rumah kakak Joni ternyata berada di lingkungan pesantren. Pesantren yang terlihat bersahaja ini tiap hari tak henti oleh lantunan ayat al-qur’an untuk dihafal para santri. Bangunan masjid yang baru 80 persen ini menggambarkan kemegahannya kelak. Masjid yang menjadi pusat dakwah para mujahidnya. Kutatap dari jendela kamar begitu terasa suasana pesantren. Teringat dulu ketika aku nyantren di Gontor, Ponorogo. Kira-kira dua tahun aku bertahan. Selanjutnya aku memutuskan untuk sekolah umum di Ngawi.
Adzan magrib berkumandang. Aku memutuskan untuk sholat berjama’ah di masjid itu. Setelah sholat aku langsung pulang menuju rumah kakak Joni. Aku berjalan berjajar dengan para santri. Sekitar 50 meter didepanku kulihat sosok wanita bercadar dengan gamis berwarna gelap. Ia membawa beberapa buku yang nampak begitu berat. Saat berpapasan dengannya kulihat ia sedang terburu-buru. “Ukhti…awasss…minggirlah”, teriakku sejadinya. Dari arah belakangnya ada sebuah pick up yang melaju. Wanita bercadar itu tak menggubris perkataanku. Spontan aku lari dan mendorong tubuh wanita itu ke sisi jalan. Tanpa ku ketahui ternyata pick up itu malah menyerempetku hingga aku jatuh ke sisi jalan. Aku tak sadarkan diri.
***
Badanku terasa nyeri luar biasa. Kucoba membuka mata. Ku lihat tempat ini begitu asing bagiku. Ternyata aku berada dirumah kyai pemilik pesantren ini. Rumah wanita bercadar tadi. Kyai Ahmad bertanya tentang diriku. Akupun menjawab seadanya dengan penuh ketawadhu’an. Lukaku tak terlalu parah, hanya memar saja. Kira-kira satu jam aku terlibat obrolan dengan Kyai Ahmad. Setelah itu aku diantar pulang oleh santrinya.
Esoknya badanku sudah mulai membaik. Kata Joni tepat jam sepuluh pagi aku disuruh pergi ke rumah Kyai Ahmad. Aku penasaran ada perlu apa Kyai Ahmad memanggilku. “Nak, apakah kau sudah mempunyai seorang calon pendamping hidupmu?”, Tanya beliau. Aku tercengang dengan pertanyaan beliau. Aku pun menjawab apa adanya dengan keadaanku sekarang. Aku hanyalah seorang mahasiswa dari kampung yang hendak berjuang menyelesaikan skripsi yang bertahan dengan uang beasiswa. Yang lebih membuatku kaget luar biasa, ketika dia menawarkan putrinya untuk menjadi istriku. Oh Tuhan, ini adalah permintaan dari seorang kyai besar. Aku sangat tidak enak hati bila menolak permintaannya. Aku belum memutuskan ya atau tidak. Aku meminta waktu untuk istiqoroh. Aku menyampaikan kabar ini kepada ibu dirumah. Ibu hanya mengatakan turuti kata hatimu nak, yang penting wanita itu sholehah dan menghormatimu.
Hari ini aku harus kembali ke asrama. Masih banyak tugas kuliah yang menunggu. Ku jelaskan kesibukan kuliahku pada Kyai Ahmad. Beliau bisa memahamiku dan mau menunggu kepastianku. Tepat pukul delapan pagi aku dan Joni menunggu bus di jalan raya. Sebuah angkot berhenti didepan kami. Gadis bercadar itu keluar dari angkot . Aku menyapanya dengan ucapan salam. Diapun membalas salamku. “Ma’assalamah kak Fajar, Allah yubarik fik”, ucapnya padaku. Cesss…entah kenapa hati merasa tenang dengan tutur lembutnya. Suara itu seperti tak asing bagiku.
***
Aku bertemu Nafha. Dia tersenyum manis untukku. Dia tak berkata sepatah katapun. Hanya senyum yang ia berikan. Ia memberikanku karung untuk membungkus gabah.“Astaqfirullah…” aku gelagapan. Ternyata aku bermimpi. Kringgggg….ringtone jadul selulerku berbunyi. Ku lihat ternyata Kyai Ahmad. Aku segera mengangkatnya. Beliau menanyakan tawarannya seminggu yang lalu. Selama seminggu ini aku sudah istiqoroh. Tapi kenapa aku malah bermimpi bertemu Nafha. Ya Rabb…lindungi hamba dari bisikan dan jeratan syaiton. Tanpa pikir panjang aku mengiyakan permintaan dari Kyai Ahmad. Gadis itu putri seorang kyai, tentu akhlaknya tak perlu diragukan lagi pikirku.
Dua hari kemudian ayah dan ibu mendampingiku untuk melamar putri Kyai Ahmad. Saat mengkhitbah aku diizinkan untuk melihat wajah gadis itu. Hatiku semakin berdentum riuh bak genderang orkestra. “Nafha, bukalah cadarmu agar calon suamimu bisa melihatnya”, kata umi Hanifah, istri Kyai Ahmad. Sontak, aku kaget umi Hanifah menyebut putrinya Nafha. Aku berharap itu Nafha yang selama ini menjadi misteri dalam hidupku. Dia yang membuat pikiranku tak tenang karena dilimbung rasa bersalah. Dia pulalah yang membuatku lebih termotivasi dalam menyikapi hidup. Tapi itu tidak mungkin. Nafha bukan dari keluarga pesantren. Terlebih lagi sepertinya dia tidak mempunyai family di Bogor. Hatiku makin riuh berdentum. Keringat dingin. Namun ku siapkan diri ini. Jangan sampai syaiton menggoda hatiku. Gadis ini adalah calon istriku. Dan gadis ini bukan Nafha putri Pak Rudi. Nafha membuka cadarnya. Cesss…kedua mata kami saling memandang, lalu ku tundukkan kembali. Subhanallah walhamdulillah. Ternyata dia adalah Nafha Hafidzahunnisa. Gadis bersahaja yang kukagumi selama ini. Gadis yang selalu kurindu kehadirannya. Orang tua kandung Nafha adalah Kyai Ahmad dan umi Hanifah.
***
Lukisan langit malam khas Ngawi bergelayut indah. Kombinasi bulan dan bintang sungguh romantis. Kini Nafha menjadi istriku yang akan melahirkan mujahid kecilku. Aku telah menamatkan S1 di IPB dengan nilai cumlaude. Dari skripsiku aku berhasil menemukan pupuk yang ampuh untuk mengurangi serangga dan hama pengrusak padi. Aku mendirikan koperasi petani untuk masyarakat di desaku. Selain itu aku dan Nafha diberi amanah oleh Kyai Ahmad untuk mengelola boarding school. Dari sekolah ini aku dan Nafha mempunyai azam untuk mencetak generasi yang cerdas, berakhlak mulia, dan menjadi hafidz al-qur’an. Setelah sholat isya di masjid agung Baiturrahman kami naik ke menara. Sungguh bahagia tak terkira. Akhirnya aku bisa menatap langit nan indah bersama Nafha disini. My wonder woman. Ini adalah bukti Wa khalaqnaakum azwaajaa.
Ketika nestapa melanda jiwa. Api membakar hati, airmata meleleh di pipi
Kala lara mendera hati, menyiksa jiwa. Perasaan mungkin bisa bersembunyi
Tapi air mata akan mengalir lama. Sungguh, cinta sejati tidak lahir dalam kejapan
Ia lahir bukan karena paksaan. Sungguh, cinta sejati berjalan pelan dan lambat
Ia berjalan dalam paduan panjang dan pancangan tiang. Cinta sejati lahir karena mantapnya niat, teguhnya tujuan.
Cinta sejati tidak akan sirna dan tidak akan pudar[3]